Kisah ini saya kutip dari buku. ”Bahagianya Merayakan Cinta” karya Salim A Fillah.
Suatu hari ada seorang lelaki, yang ikut antri di warung pecel lele
didaerah Monjali. Mendung bergantung sore itu, dan warna hitam yang
menyeruak d ibarat mulai bergerak mendekat. Dia, berkaos putih yang
leherannya mulai geripis, dikepalanya ada pecis putih yang kecil, dan
celananya beberapa senti diatas mata kaki. Sandal jepit swallow yang
talinya hampir putus nyangkut diantara jempol dan jari kakinya. Seperti
yang lain ia juga memesan,
”Pecel Lele, Mas!”
”Berapa?” Tanya Mas penjual yang asyik menguleg sambal terasi sambil
sesekali meraih sothil besar untuk membalik gorengan lele di wajan
raksasa. Gemuruh bunyi kompor mengharuskan orang berbicara sedikit lebih
keras.
”Satu. Dibungkus..”
Perlahan tangannya merogoh saku celana, lalu duduk sembari menghitung
uangnya. Malu malu, tangannya dijorokkan sedikit ke bawah meja. Uang
pecahan ratusan sudah disatukan dengan selotip bening per sepuluhan
keping, pas jumlahnya sesuai harga.
”Nggak makan sini aja Mas? Takut keburu hujan ya?”
”Hihi, buat Istri”
”Oo..”
Selesai perjalanan dibungkus, bersamaan dengan bunyi keritik yang mulai
menggambar titik-titik basah di tenda terpal milik Mas Pecel Lele. Agak
berlari ia keluar, tetapi melebatnya sang hujan jauh lebih cepat dari
tapak-tapak kecilnya. Khawatir pecel lele untuk istri tercinta yang
hanya dibungkus kertas akan berkuah, ia selipkan masuk ke perutnya.
Bungkusan itu ia rengkuh erat dengan tangan kanan, tersembunyi dibalik
kaos putih yang mulai transparan disapu air. Tangan kirinya keatas,
mencoba melindungi kepalanya dari terpaan ganas hujan yang tercurah
memukul-mukul. Saat itu ia sadar, ia ambil pecisnya. Ia pakai juga untuk
melapisi bungkusan pecel lele.
Huff, lumayan aman sekarang. Tetapi 3 kilometer bukanlah jarak yang dekat untuk berjalan ditengah hujan, bukan?
~~~
Sahabat, apa perasaan anda ketika membaca kisah lelaki ini? Kasihan. Iba. Miris. Sedih.
Itu kan anda! Coba tanyakan pada laki-laki itu, kalau anda bertemu. Oh,
sungguh berbeda. Betapa berbunga hatinya. Dadanya dipenuhi heroisme
sebagai suami yang baru yang penuh perjuangan untuk membelikan
penyambung hayat istri tercinta. Jiwanya dipenuhi getaran kebanggaan,
keharuan, dan kegembiraan. Kebahagiaan seolah tak terbatas, menyelam
begitu dalam di kebeningan matanya. Ia membayangkan senyum yang
menantinya, bagai bayangan surga yang terus terhidupkan di rumah petak
kontrakannya.
Ditengah cipratan air dari mobil dan bus kota yang bersicepat, juga
sendalnya yang putus lalu hilang ditelan lumpur becek, ia akan
tersenyum. Senyum termanis yang disaksikan jagad. Seingatnya, ia belum
pernah tersenyum semanis itu saat masih membujang. Subahanallah....
Sahabat, Begitulah, karena ada konsep barokah, kita tidak diperkanankan
mengukur badan orang dengan baju kita sendiri. Pada pemandangan yang tak
tertembus oleh penilaian subjektif kita itu, daripada berkomentar yang
sifatnya ”iri tanda tak mampu” akan jauh lebih baik kita memuji Tuhan
atas kebesaran-Nya. Mudah-mudahan Tuhan meluaskan barakah itu hingga
kitapun merasainya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pemuda Tepus Kulon
- Tepus Kulon
- Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia
- blog yang berisi semua yang bermanfaat dan update kegiatan pemuda dan pemudi tepus kulon
0 komentar:
Posting Komentar